Indonesia sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan negara Muslim (Muslim Country), bukan sebagai
negara Islam (Islamic State), di mana negara Islam diidentikkan dengan
sistem politik Islam secara mutlak, sedangkan negara Muslim tidak menerapkannya.
Hal ini tentunya menjadikan Islam memiliki tingkat mobilisasi politik yang
kuat bagi perkembangan sistem politik-pemerintahan di Indonesia. Bisa dikatakan
bahwa perkembangan politik Islam di Indonesia telah ada sejak sejarah masuknya
Islam, yakni menurut salahsatu sumber sekitar pada akhir abad ke-13 dan awal
abad ke-14, di mana pada saat itu hanya sebatas bagaimana Islam dapat diakui
dan diterima oleh masyarakat. Dalam melakukannya pun tidak bisa dilepaskan dari
politisasi penyebaran agama Islam.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, Islam juga telah menjadi bagian terpenting dan
tidak terpisahkan dalam sejarah politik di Indonesia. Akan tetapi, tidak
sepenuhnya menjadi alasan bahwa Islam sebagai “agama politik” sebagaimana
dinyatakan oleh Donald Eugene Smith (1974)
dalam tulisannya: “Religion and Political Modernization”. Islam
hadir sebagai penyelaras sistem politik yang berkembang, agar tetap
mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.
Tulisan ini akan menguraikan bagaimana teoritisasi tentang perkembangan
Islam dalam perpolitikan di Indonesia, yang dilihat pada periodisasi sejak
zaman pasca-kolonialisme.
Dalam hal ini, akan diuraikan sebuah teori yang telah dikenalkan sejak
tahun 1950-an hingga 1960-an. Teori tersebut adalah teori “dekonfessionalisasi
Islam” yang dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze sebagai ahli Indonesia
yang berkebangsaan Belanda. Sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy (2009), Nieuwenhuijze
mencoba menjelaskan hubungan politik antara politik Islam dan negara nasional
modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembangunan bangsa
dalam kerangka teori dekonfessionalisasi.
Istilah dekonfessionalisasi berasal dari kehidupan sosial-politik di
Belanda yang memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh kelompok sosio-kultural. Kehidupan
sosial-keagamaan di Belanda menunjukkan adanya kesulitan hubungan
kelompok-kelompok yang memiliki denominasi. Selain itu, istilah
dekonfessionalisasi digunakan di Belanda untuk menguraikan bahwa pencapaikan
kebersamaan antar kelompok peribadatan harus bertemu dan bertukar pikiran untuk
menemukan rumusan bersama.
Hal itu telah menunjukkan adanya keberagaman dalam beragama di Belanda,
sehingga melalui dekonfessionalisasi menghindarkan dari tindakan-tindakan
intoleransi antar kepercayaan, atau pun menghindarkan dari eklusivitas
keagamaan. Nieuwenhuijze menambahkan pula bahwa upaya bersama yang dilakukan
antar kelompok keagamaan tetap menjadikan mereka tetap loyal kepada agamanya.
Menurut Nieuwenhuijze Islam di Indonesia memiliki dominasi dalam revolusi
nasional, di mana peran Islam menyerupai dengan dekonfessionalisasi yang ada di
Belanda. Dalam interaksi, Islam tetap berinteraksi secara baik dengan kelompok
keagamaan di Indonesia, karena memang pejuang kemerdekaan tidak seluruhnya
Islam.
Formalisasi dan kakunisasi sebagai orientasi Islam telah terlepas dalam
proses interaksi. Hal itu sebagai daya tarik dan daya panggil agar Islam tetap
memiliki jaminan dan pengakuan peran. Dalam hal ini, dekonfessionalisasi Islam
merupakan konsep untuk memperluas penerimaan gagasan, yang mencakup semua kelompok
berkepentingan, tidak hanya Islam didalamnya.
Nieuwenhuijze melakukan dua analisis kasus. Pertama, analisis kaum Muslim
nasionalis, kaum netral agama, serta Kristen nasionalis dalam penerimaan
Pancasila. Dalam hal ini, terdapat sebuah pendapat bahwa dalam penerimaan
Pancasila tersebut terdapat kekalahan Islam, dengan digantinya sila pertama. Akan
tetapi, menurut Nieuwenhuijze, hal itu bukan sebagai kekalahan politis kaum
Islam. Nieuwenhuijze mengakui dan percaya bahwa esensial nilai-nilai Pancasila
berkaitan dengan pemikiran Islam. Adanya keterkaitan tersebut menurutnya tidak
harus bersifat formal, tetapi dapat ditemukan didalamnya, sehingga Pancasila
secara perspektif bersifat religius.
Kedua, analisis pembentukan Departemen Agama (Depag),
yang sekarang berubah nama menjadi Kementerian Agama (Kemenag). Nieuwenhuijze memberikan penjelasan bahwa pembentukan Depag
memberikan adanya jaminan kelembagaan, terutama kaum Muslim. Bukan itu saja, hal
itu juga untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar memperhatikan masalah
agama. Bahkan, didalam Kemenag telah mengakomodasi seluruh agama, dengan adanya
Ditjen Bimas Islam, Kristen, Katholik, Hindu, serta Budha. Artinya, Kemenag
sebagai jaminan kelembagaan tidak melakukan subjektivitas keagamaan.
Nieuwenhuijze telah memberikan penjelasan bahwa perkembangan Islam dalam
politik di Indonesia modern. Hal itu dapat dilihat secara seksama bahwa Islam
hadir dalam bentuk yang objektif, bukan subjektif. Teori dekonfessionalisasi
Islam dilihat sebagai upaya penafsiran kreatif atas prinsip Islam dalam politik
Indonesia, sehingga tetap memiliki relevansi dengan nilai-nilai keindonesian.
Ahmad Zaki Muntafi
Jl. Legoso Raya, Ciputat