Rabu, 08 Februari 2017

Dekonfessionalisasi Islam: Sebuah Teoritisasi Politik Islam Indonesia




Indonesia sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara Muslim (Muslim Country), bukan sebagai negara Islam (Islamic State), di mana negara Islam diidentikkan dengan sistem politik Islam secara mutlak, sedangkan negara Muslim tidak menerapkannya. Hal ini tentunya menjadikan Islam memiliki tingkat mobilisasi politik yang kuat bagi perkembangan sistem politik-pemerintahan di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa perkembangan politik Islam di Indonesia telah ada sejak sejarah masuknya Islam, yakni menurut salahsatu sumber sekitar pada akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, di mana pada saat itu hanya sebatas bagaimana Islam dapat diakui dan diterima oleh masyarakat. Dalam melakukannya pun tidak bisa dilepaskan dari politisasi penyebaran agama Islam.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, Islam juga telah menjadi bagian terpenting dan tidak terpisahkan dalam sejarah politik di Indonesia. Akan tetapi, tidak sepenuhnya menjadi alasan bahwa Islam sebagai “agama politik” sebagaimana dinyatakan oleh  Donald Eugene Smith (1974) dalam tulisannya: “Religion and Political Modernization”. Islam hadir sebagai penyelaras sistem politik yang berkembang, agar tetap mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.

Tulisan ini akan menguraikan bagaimana teoritisasi tentang perkembangan Islam dalam perpolitikan di Indonesia, yang dilihat pada periodisasi sejak zaman pasca-kolonialisme.  

Dalam hal ini, akan diuraikan sebuah teori yang telah dikenalkan sejak tahun 1950-an hingga 1960-an. Teori tersebut adalah teori “dekonfessionalisasi Islam” yang dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze sebagai ahli Indonesia yang berkebangsaan Belanda. Sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy (2009), Nieuwenhuijze mencoba menjelaskan hubungan politik antara politik Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam  dalam revolusi nasional dan pembangunan bangsa dalam kerangka teori dekonfessionalisasi.

Istilah dekonfessionalisasi berasal dari kehidupan sosial-politik di Belanda yang memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh kelompok sosio-kultural. Kehidupan sosial-keagamaan di Belanda menunjukkan adanya kesulitan hubungan kelompok-kelompok yang memiliki denominasi. Selain itu, istilah dekonfessionalisasi digunakan di Belanda untuk menguraikan bahwa pencapaikan kebersamaan antar kelompok peribadatan harus bertemu dan bertukar pikiran untuk menemukan rumusan bersama.

Hal itu telah menunjukkan adanya keberagaman dalam beragama di Belanda, sehingga melalui dekonfessionalisasi menghindarkan dari tindakan-tindakan intoleransi antar kepercayaan, atau pun menghindarkan dari eklusivitas keagamaan. Nieuwenhuijze menambahkan pula bahwa upaya bersama yang dilakukan antar kelompok keagamaan tetap menjadikan mereka tetap loyal kepada agamanya.

Menurut Nieuwenhuijze Islam di Indonesia memiliki dominasi dalam revolusi nasional, di mana peran Islam menyerupai dengan dekonfessionalisasi yang ada di Belanda. Dalam interaksi, Islam tetap berinteraksi secara baik dengan kelompok keagamaan di Indonesia, karena memang pejuang kemerdekaan tidak seluruhnya Islam. 

Formalisasi dan kakunisasi sebagai orientasi Islam telah terlepas dalam proses interaksi. Hal itu sebagai daya tarik dan daya panggil agar Islam tetap memiliki jaminan dan pengakuan peran. Dalam hal ini, dekonfessionalisasi Islam merupakan konsep untuk memperluas penerimaan gagasan, yang mencakup semua kelompok berkepentingan, tidak hanya Islam didalamnya.

Nieuwenhuijze melakukan dua analisis kasus. Pertama, analisis kaum Muslim nasionalis, kaum netral agama, serta Kristen nasionalis dalam penerimaan Pancasila. Dalam hal ini, terdapat sebuah pendapat bahwa dalam penerimaan Pancasila tersebut terdapat kekalahan Islam, dengan digantinya sila pertama. Akan tetapi, menurut Nieuwenhuijze, hal itu bukan sebagai kekalahan politis kaum Islam. Nieuwenhuijze mengakui dan percaya bahwa esensial nilai-nilai Pancasila berkaitan dengan pemikiran Islam. Adanya keterkaitan tersebut menurutnya tidak harus bersifat formal, tetapi dapat ditemukan didalamnya, sehingga Pancasila secara perspektif bersifat religius.

Kedua, analisis pembentukan Departemen Agama (Depag), yang sekarang berubah nama menjadi Kementerian Agama (Kemenag). Nieuwenhuijze  memberikan penjelasan bahwa pembentukan Depag memberikan adanya jaminan kelembagaan, terutama kaum Muslim. Bukan itu saja, hal itu juga untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar memperhatikan masalah agama. Bahkan, didalam Kemenag telah mengakomodasi seluruh agama, dengan adanya Ditjen Bimas Islam, Kristen, Katholik, Hindu, serta Budha. Artinya, Kemenag sebagai jaminan kelembagaan tidak melakukan subjektivitas keagamaan.

Nieuwenhuijze telah memberikan penjelasan bahwa perkembangan Islam dalam politik di Indonesia modern. Hal itu dapat dilihat secara seksama bahwa Islam hadir dalam bentuk yang objektif, bukan subjektif. Teori dekonfessionalisasi Islam dilihat sebagai upaya penafsiran kreatif atas prinsip Islam dalam politik Indonesia, sehingga tetap memiliki relevansi dengan nilai-nilai keindonesian.


Ahmad Zaki Muntafi
Jl. Legoso Raya, Ciputat  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

About

Harapan : Masa Depan yang Cerah