Rabu, 19 Juli 2017

JIC dan Fenomena Kelompok Islamis





Realitas kehidupan keberagamaan memang tidak bisa dipungkiri sangat beragam. Ini bukan soal kesamaan dalam hal akidah, hanya saja berbeda soal furu’iyah-nya. Namun, dalam konteks kebangsaan dan keindonesiaan memang itu bisa dimaklumi, sebagaimana diketahui bahwa Indonesia sebagai negara yang sangat majemuk, termasuk dalam kepercayaan beragama.

Hal ini menjadi seperti sebuah gambaran nyata bahwa sekilas kehidupan keberagamaan pun di Indonesia akan senantiasa beragam dengan distingtifnya. Belakangan ini, keberagaman itu seperti di-“nodai” dengan adanya kelompok yang mengataskan Islam dengan seabrek dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar Islamisnya. 

Memang terlalu berlebihan jika menisbatkan kelompok ini telah me-“nodai” khazanah keberagamaan Islam di Indonesia yang telah ada sejak berabad-abad silam. Namun, apa yang dilakukan kelompok Islamis ini secara kultural memang telah mengancam kultur Islam Indonesia, atau lebih populer dengan “Islam Nusantara”. 

Istilah “Islam Nusantara” sendiri secara akademik bukan sesuatu gagasan yang baru. Istilah ini baru populer belakangan ini, ketika identitas Islam di Indonesia telah banyak mendapat problematika yang cukup serius. Azyumardi Azra jauh sebelumnya, pada awal tahun 2000-an telah menggunakan istilah “Islam Nusantara” melalui karya akademiknya.

Mengenai kelompok Islamis, penulis secara sederhana mengelompokkan menjadi dua. Pertama, kelompok Islamis-radikal. Kelompok ini yang belakangan sering menyebarkan teror, mulai teror kebencian terhadap sesama muslim, hingga yang paling parah terjadinya kasus-kasus pengeboman diberbagai daerah di Tanah Air. Pemerintah secara masif melakukan berbagai kebijakan konkrit untuk menyelesaikan kelompok Islamis ini. Pemerintah secara tegas dalam masalah ini, serta mampu menjalankan tugasnya secara baik dalam menghadapi kelompok radikal ini. 

Kelompok Islamis-radikal yang berada di Indonesia sebenarnya sebagai imbas dari konflik Timur Tengah yang tak pernah redam hingga sekarang. Beberapa penelitian akademik justru mengatakan konflik disana bukan soal agama sebagai penyebabnya, tetapi soal kekuasaan hingga sumber daya alam (SDA). Indonesia yang notabennya memiliki kekayaan SDA yang luar biasa kaya. Maka, secara tidak langsung cukup logic jika di Indonesia telah terjadi berbagai teror tersebut. Konon katanya, kelompok ini cukup frustasi di Timur Tengah, hingga mereka berpindah ke Asia, termasuk Indonesia untuk menyebarkan paham yang cukup radikal. 

Kedua, kelompok Islamis-fanatis. Kelompok ini memang secara akidah tidak bermasalah. Meskipun ada beberapa kelompok kecil yang dianggap menyimpang karena secara akidah bertentangan. Namun, itu hanya sebagian kecil saja. Mayoritas secara akidah sama, sebagai ketauhidannya. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah kelompok fanatis ini secara kultural bertolak belakang dengan identitas Islam di Indonesia. 

Bahkan, secara fakta telah terjadi “Arabisasi” Islam di Indonesia. Dalam hal ini, segala pernak-pernik atau atribut keagamaan semuanya serba Arab, mulai dari jubah, cadar, dan lain sebagainya. Bukan itu saja, telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang sangat agamis, sehingga percakapan sehari-hari sok-sok Arab. Arab sebagai tanah pertama Islam berkembang menjadikannya sebagai alasan, bahwa jika ingin berislam secara kaffah (sempurna), maka Islamnya harus seperti di Arab. Padahal menurut Sumanto Al-Qurtuby yang saat ini sebagai Guru Besar Antropologi Agama di Arab Saudi malah menyatakan Islam di Arab murni budaya bukan alasan agama yang menjadi Islam di Arab seperti itu. 

Tulisan ini sebenarnya bentuk pengamatan penulis selama ini. Akan tetapi, beberapa waktu lalu penulis mengunjungi Jakarta Islamic Centre (JIC), di Jakarta Utara. Sebuah tempat yang menjadi sentral aktivitas keagamaan. Wong namanya juga Islamic Centre. Hehehe

JIC sebenarnya bukan sekadar Masjid saja, tetapi lebih dari itu diharapkan secara lebih jauh lagi dapat menjadi pusat peradaban di Asia Tenggara. Maka, alasan inilah didirikan JIC. Tempat ini juga bukan sekadar pusat aktivitas beribadah dan kegiataan keagamaan lain. Namun, juga telah menjadi tempat rekreasi bagi keluarga untuk menghangatkan harmonisnya kehidupan keluarga. Disana anggota keluarga dapat bercengkerama dengan mesra sebagai simbol menguatya ikatan keluarga.

JIC juga telah menjadi tempat mencari nafkah bagi pedagang-pedagang disekitar. Bahkan, didalam komplek dan disekitar JIC pedagang membuka lapaknya. Yang terkadang menjadi alasan sedikit kemacetan disana. JIC memang cukup luas, sehingga secara tidak langsung dapat memberikan pemandangan yang sejuk di pagi hari, terlebih lagi di Jakarta sudah sangat sulit menemukan lahan kosong, karena sudah terpenuhi dan dijejali dengan gedung-gedung pencakar langit.

Kebetulan pada saat penulis ke JIC, disana sedang diadakan sebuah kegiatan keagamaan. Kegiatan ini cukup besar, karena memang pembicaranya saja dari luar, yang menyampaikan materi dengan bahasa Arab. Ditambah lagi, pesertanya juga banyak, hingga memenuhi ruang Masjid yang cukup luas. 

Hanya saja kegiatan tersebut ternyata diadakan oleh kelompok Islamis-fanatis. Yang membuat nuansa JIC menjadi sangat seperti Arab. Meskipun JIC bukan di Arab, tetapi di Jakarta. Artinya, disana banyak Muslim yang  berbusana “ala Arab”. Bahkan, bisa dikatakan Muslim dengan atribut keagamaan pribumi sungguh sangat sedikit. Padahal kegiatan tersebut dilaksanakan pada siang hari, tetapi nuansa ke-Arabannya sudah mulai terasa sejak pagi hari. 

Menjelang siang malah justru seperti kehidupan sosial di Arab. Bahkan, beberapa pedagang didalam komplek JIC juga tak kalah saing. Berbusana “ala Arab” dan juga menjual berbagai atribut ke-Araban. Pedagang “ala pribumi” malah justru sedikit, itu pun hanya menjual makanan-makanan seperti pada umumnya. JIC yang penulis lihat justru seperti Arab, bukan Indonesia.

Solidaritas mereka bisa dikatakan cukup solid dan kuat. Hal itu bisa dilihat melalui partisipasi jamaahnya yang sangat banyak, hingga memenuhi ruang Masjid JIC. Itu sebagai antusiasme mereka terhadap kelompoknya sendiri. Ditambah lagi, isu yang diangkat pada kegiatan tersebut juga isu yang membahas persoalan furu’iyah, yang sebenarnya tidak perlu dibahas dengan begitu meriahnya. Namun, yang terpenting perlu adanya sikap toleransi terhadap hal itu. Jusrtu kelompok yang seperti ini dalam beberapa kasus, enggan untuk bersikap saling menghargai. Malah justru tak jarang saling mem-“bid’ah”-kan. 

Sebagai Muslim yang hidup di negeri yang sangat majemuk ini memang perlu untuk bersikap toleransi. Bahkan, itu sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan sebagai sebuah kewajiban. Namun, bukan berarti tinggal di negeri yang majemuk ini bisa dengan seenaknya membawa dan menyebar luaskan paham keagamaan yang justru akan mengancam identitas Islam di Indonesia. Bukan itu saja, tetapi akan mengancam pula sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, perlunya solidaritas dalam menjaga dan marawat Islam dan negara ini dengan baik dan bijak sesuai dengan nilai-nilai yang telah tertanam jauh sebelum abad ini. 



Ahmad Zaki Muntafi
Jl. Legoso Raya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

About

Harapan : Masa Depan yang Cerah