Carut marut persoalan agama belakangan ini membuat pikiran dan hati geram. Pasalnya
tidak sedikit diantara Muslim yang dengan segala pemikirannya mencoba
merusmuskan dan mengkonsep gagasan baru sebagai teoligisasi kompleksitas
persoalan sekarang. Hanya saja terdapat persoalan yang penting yang justru
hadir disela-sela persoalan agama yang ada.
Doktrin agama yang sebelumnya ada terus mengalami perumusan kembali konsep
teologis yang sebenarnya ada didalamnya. Aplikasi ini akan menjadi inheren dengan
realitas sosial jika memang sebagai bentuk pemecahan persoalan yang ada. Namun,
bukan sekadar perumusan yang cukup progresif. Akan tetapi, terdapat juga
perumusan konsep teologis yang terkadang cenderung menjadikan agama mengalami
pergeseran makna dari yang sebenarnya.
Hal ini bisa dilihat pada fakta sosial yang ada. Misal, berbagai kalangan
Muslim berbondong-bondong untuk melakukan ijtihad keagamaan sebagai respon realitas
sosial. Sayanganya upaya ijtihad ini tidak hanya dilakukan Muslim profesional
dan kompeten, tetapi justru dilakukan pula Muslim yang baru saja belajar
tentang Islam dan seluk-beluknya. Padahal untuk memahami konsep Islam sebagai
agama membutuhkan proses belajar yang tidak sebentar, serta membutuhkan sosok
panutan (guru) yang tepat pula.
Agama bukanlah sesuatu yang mutlak dalam realitas sosial. Karena agama
dianggap akan mampu mengondisikan dirinya dengan realitas. Namun, sebagai
makhluk berTuhan, maka agama akan tetap bersifat absolut. Hanya saja doktrin
dalam agama tidak melulu bersifat absolut (qath’i), tetapi masih
terdapat konsepsi agama yang bersifat relatif, sehingga perlu reinterpretasi
ulang atas hal itu.
Doktrin agama yang bersifat relatif yang kemudian melahirkan adanya gagasan
tentang liberalisme, sekuliralisme, serta lain sebagainya, di mana paham
tersebut lahir atas pemahaman teks-teks agama yang dianggap membutuhkan
reinterpretasi kembali. Namun, bukan itu saja, terdapat pula proses
persinggungan kehidupan sosial yang menjadi penyulut adanya reinterpretasi
tersebut.
J. Salwyn Schapiro (1958) menjelaskan bahwa kaum liberal menganggap agama
sebagai opini yang terbuka, di mana menurutnya kaum liberal mendukung kebebasan
untuk tidak beriman, sebagaimana kebebasan untuk beriman. Memang gagasan itu
cukup ekstrim dalam konteks sosial saat ini. Hanya saja, Schapiro mencoba
menguak bagaimana kaum liberal mengonsep kembali dalam hal teologis.
Konsep agama sebagai opini terbuka memang bukan sesuatu yang baru. Hanya saja
secara tidak langsung telah kita alami dan saksikan pula dalam kehidupan
beragama. Hal ini yang mendorong gagasan-gagasan tentang konsep agama perlu
dikembangkan agar sesuai dengan realitas yang ada, tanpa harus menjadikan agama
mengalami pergerseran makna. Bukan malah sebaliknya, menjadikan agama
kehilangan jati dirinya.
Ahmad Zaki Muntafi
Jl, Legoso Raya, Ciputat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar